The Boy Left Side :D
Senja cepat menjadi buram, kawanan jingga berubah pekat, dan kicau
bintang terasa menggemintang. Aku merapatkan jaket hitamku. Angin masih
terus menerus bermain bersama reranting basah. Aku mempercepat langkah,
hanya terdengar denting gantungan kunci yang beradu. Menyesal. Mengapa
tadi aku tidak bersama dengan kumpulan mahasiswa psikologi lain yang
sedang asyik tertawa di beranda masjid ath tholibin. Dan dengan gontai
aku tiba juga di tepian jalan. Ini yang paling aku benci: menyeberang
jalan sendirian. Bukan sekadar sendirian, tapi juga malam hari,
banyaknya motor yang melintas, dan yang penting, aku tidak bisa
menyeberang! Konyol memang.
Setelah komat kamit menenangkan diri, aku melangkah, tapi tertahan,
kilauan cahaya motor itu terlalu banyak. Terlalu cepat juga. Beberapa
menit berlalu, dan aku masih maju-mundur di tempatku. Ketika kembali
mundur....
seseorang tersenggol tas ranselku. Aku menoleh padanya seraya
tersenyum meminta maaf. Lelaki itu balik tersenyum dalam diam. Aku
menekuri lagi jalanan, berpikir, bagaimana dan kapan waktu yang pas
untuk menyeberang. Ketika kilau cahaya hanya terlihat tiga-empat titik,
lelaki itu bergumam, " ya, satu.... Dua.....". Sebelum hitungan ketiga
aku dimintanya untuk ikut menyeberang.
seperti biasa, langkahku kecil dan santai - atau kelewat santai?
Lelaki itu menoleh padaku, "lari!". Aku tertawa, sementara dia sibuk
memberi isyarat dengan tangannya pada pengemudi mobil untuk memperlambat
lajunya.
"santai banget sih?", dia mungkin kesal.
"memangnya harus lari?", aku bertanya balik padanya.
"truk tadi itu lumayan cepet", dia membela dan masih heran dengan langkah ringanku.
"dia punya mata",tandasku.
"bisa aja itu sopir lagi mabok!", suaranya mengeras.
"kecil kemungkinannya."
"tetap saja....", dia tidak puas. Ah, masalah menyeberang saja bisa jadi sebegini repot!
"ya...ya... Maaf. Maaf. Harusnya aku lari tadi", akhirnya aku mengalah. Dia mengomel ringan:
"lagian nyeberang kok kayak penganten... Lama." bukan dengan nada
menyalahkan, atau kesal, terdengar lebih ringan. Aku tertawa pelan
sambil berkali-kali minta maaf.
Dia ikut tertawa. Tampaknya semesta meminjam kemilau gemintang
sekarang. Tak ada siluet apapun di mataku. Hanya ringan suaranya
menggema. Dan lelaki asing itu menoleh,
"aku duluan ya. Lain kali belajarlah menyeberang sendirian."
tawa jenakanya menutup langkah sebelum dia hilang dari pandanganku.
"Ya. Aku mungkin harus belajar, untuk menjadi terbiasa mengayun langkah
lebih ringan, untuk menjadi terbiasa menghitung detik dengan sabar, juga
terbiasa untuk menyapa kesempatan yang jarang datang. Aku harus
belajar."
Wisaya,
Ciseke, 24 April 2012
- it's half fiction! :D
0 komentar:
Posting Komentar