Sudah Desember, Sayang.
Ayo bangun dan mulai berhitung
Sebelas bulan lalu nada sumbang apa yang kita bicarakan
Mungkin segurat lelah menyisa
atau malah menguat?
Aku terkadang menyesal,
waktuku terlumat dalam tidur panjang atau gumam kesal
Januari menanti kita tanpa ramah tamah
ah, siapkah?
karena perjuangan tak punya akhir selain mati
atau menang yang hakiki
sedang kita belum berubah
sedang kita masih menyuap sia
sedang kita masih memandang lemah diri
sedang kita masih punya keluh dibanding karya
Sudah Desember, Sayang.
Januari menanti tanpa ramah tamah.
Lengkong, 9 Desember 2012.
- lama g nulis. :) feel free. semangaaattttt.... target tahun depan menanti.
Read More......
Bukan tentang siapa yang menengadah menatang matari,
Bukan tentang siapa yang mengerdil di sudut hari,
Bukan tentang imaji yang lari dari tengah-tengah hingar bingar, remah lelah,
atau serpihan fokus yang tak utuh lagi
Hanya saja rasanya terlalu pongah,
Untuk menyimbolkan detak gemilang dari satu sudut mata saja
Atau dari geletar-geletar bangga untuk kemenangan sepersekian detik
Hitungan tik tak masih lama berlanjut
Berlari saja.....
Asa itu beranjak pelan
Engkau, aku, mereka,
Tak ada yang berbinar biru tanpa memerah terlebih dahulu
Berlari saja...
gedung aula, lecturing psikologi kepribadian 2, 2 Mei 2012
Read More......
Senja cepat menjadi buram, kawanan jingga berubah pekat, dan kicau
bintang terasa menggemintang. Aku merapatkan jaket hitamku. Angin masih
terus menerus bermain bersama reranting basah. Aku mempercepat langkah,
hanya terdengar denting gantungan kunci yang beradu. Menyesal. Mengapa
tadi aku tidak bersama dengan kumpulan mahasiswa psikologi lain yang
sedang asyik tertawa di beranda masjid ath tholibin. Dan dengan gontai
aku tiba juga di tepian jalan. Ini yang paling aku benci: menyeberang
jalan sendirian. Bukan sekadar sendirian, tapi juga malam hari,
banyaknya motor yang melintas, dan yang penting, aku tidak bisa
menyeberang! Konyol memang.
Setelah komat kamit menenangkan diri, aku melangkah, tapi tertahan,
kilauan cahaya motor itu terlalu banyak. Terlalu cepat juga. Beberapa
menit berlalu, dan aku masih maju-mundur di tempatku. Ketika kembali
mundur....
seseorang tersenggol tas ranselku. Aku menoleh padanya seraya
tersenyum meminta maaf. Lelaki itu balik tersenyum dalam diam. Aku
menekuri lagi jalanan, berpikir, bagaimana dan kapan waktu yang pas
untuk menyeberang. Ketika kilau cahaya hanya terlihat tiga-empat titik,
lelaki itu bergumam, " ya, satu.... Dua.....". Sebelum hitungan ketiga
aku dimintanya untuk ikut menyeberang.
seperti biasa, langkahku kecil dan santai - atau kelewat santai?
Lelaki itu menoleh padaku, "lari!". Aku tertawa, sementara dia sibuk
memberi isyarat dengan tangannya pada pengemudi mobil untuk memperlambat
lajunya.
"santai banget sih?", dia mungkin kesal.
"memangnya harus lari?", aku bertanya balik padanya.
"truk tadi itu lumayan cepet", dia membela dan masih heran dengan langkah ringanku.
"dia punya mata",tandasku.
"bisa aja itu sopir lagi mabok!", suaranya mengeras.
"kecil kemungkinannya."
"tetap saja....", dia tidak puas. Ah, masalah menyeberang saja bisa jadi sebegini repot!
"ya...ya... Maaf. Maaf. Harusnya aku lari tadi", akhirnya aku mengalah. Dia mengomel ringan:
"lagian nyeberang kok kayak penganten... Lama." bukan dengan nada
menyalahkan, atau kesal, terdengar lebih ringan. Aku tertawa pelan
sambil berkali-kali minta maaf.
Dia ikut tertawa. Tampaknya semesta meminjam kemilau gemintang
sekarang. Tak ada siluet apapun di mataku. Hanya ringan suaranya
menggema. Dan lelaki asing itu menoleh,
"aku duluan ya. Lain kali belajarlah menyeberang sendirian."
tawa jenakanya menutup langkah sebelum dia hilang dari pandanganku.
"Ya. Aku mungkin harus belajar, untuk menjadi terbiasa mengayun langkah
lebih ringan, untuk menjadi terbiasa menghitung detik dengan sabar, juga
terbiasa untuk menyapa kesempatan yang jarang datang. Aku harus
belajar."
Wisaya,
Ciseke, 24 April 2012
- it's half fiction! :D
Read More......
Bismillah….
Diam. Rasanya lebih melelahkan, dibanding ketika aku berkejaran dengan waktu. Diam juga membunuh satu-satu nafasku dengan makna kosong. Kemenangan itu bukan angan yang tergenggam tanpa usaha, aku harus menggapainya, dengan terpaksa jika perlu. Dengan ringan atau berat hati, aku tak boleh memilih jalan lain selain ini, meski sesak itu selalu menerjang, meski tangis membadai, aku tidak boleh kalah .
Aku harus terus berlari, karena hanya itu yang perlu aku lakukan untuk dapat diam dalam bahagia nanti. Karena cahaya itu tidak boleh padam hanya karena tiupan ribut matari.
Bismillah…. Kuatkan aku, Rabb.
Untuk esok yang lebih cerah, untuk pelita yang mengobori nurani...
Esok adalah awal, bagi perjuangan yang apinya tak akan padam, untuk cahaya biru yang tak akan pudar. Esok adalah keterasingan, bagi sisa-sisa hitam legam malam lalu.
Esok adalah harapan, bagi jiwa yang merindukan manisnya iman yang senantiasa membara.
Esok adalah kematian, bagi setiap langkah dosa yang menoda di pinggir hati.
Esok adalah rencana, untuk meniti pelangi menuju surga.
Kuatlah. SEMANGAT!!!
Read More......
Ketika mendengar kata ukhuwah, rasanya nyaman, tergambar ikatan yang kokoh yang bukan hanya berlandaskan kesamaan karakter, atau kesamaan hobi, namun ikatan yang betul-betul bernilai akidah. Maka tak ada lagi hina untuk setiap cela yang dimiliki saudara, yang ada hanyalah do’a dan toleransi tanpa batas untuk setiap karakternya yang bergesekan dengan kita. Tak ada diam untuk setiap kesalahan yang alpa diperbuatnya, yang ada hanyalah kasih sayang untuk meraih tangannya agar tetap erat menggenggam taliNya. Tak ada acuh untuk setiap kering yang merontangkan jiwanya, yang ada hanyalah limpahan hikmah untuk setiap pertemuan. Tak ada jiwa yang mati di tengah ikatan ini, yang ada hanyalah kekokohan yang menghidupkan setiap jiwa yang berpegang. Tak ada yang ditinggalkan, pun tak ada yang meninggalkan.
Dan aku menangis untuk setiap kedok yang ditampakkan seperti ukhuwah, namun hanyalah sebatas lelucon belaka. Tampak seperti ukhuwah namun setiap jiwa di dalamnya mati, bukan karena tak tahan, tapi karena tak ada seorangpun yang mempertahankannya untuk tetap hidup. Tampak seperti ukhuwah namun setiap celah adalah fitnah yang membutakan, tampak cemerlang tapi sebenarnya legam.
Dan aku membenci mereka, yang mengatasnamakan ukhuwah untuk setiap kata manis yang terlontar begitu saja, untuk setiap pertemuan yang tak beranjak dari degup gelisah, atau dari nasihat yang dirangkai seolah bermakna.
Read More......