Dania, langit yang menaunginya
Aku suka caranya tersenyum kecut pertanda tak setuju, aku suka keterbukaannya dalam ketidaksetujuan yang biasa kumaknai diam. Aku menyukai perbedaan kita. kita saling melempar tuduhan, yang kita ketahui sama-sama bahwa tak ada satu pun yang benar. Ini hanya cara kita untuk sebuah persahabatan.
Cara kita untuk sebuah persahabatan. Caraku – akhirnya kusimpulkan hal itu ketika semuanya meledak.
“ aku muak.” Dania menerjang batinku dengan telaknya. Aku hampir saja merasakan bahwa duniaku berhenti berputar.
“ kenapa? Ada apa? Apa yang terjadi?”. Aku tidak dapat menahan diri untuk mengeluarkan selongsong pertanyaan yang biasanya kubiarkan tetap tergantung rapi.
“ pikirmu, aku ada untuk mendengar semuanya – hal-hal yang kamu katakan? Telingaku tak hanya berfungsi untuk itu. dan aku jenuh.” Kelebat-kelebat masa lalu berputar bergantian dengan cepat. Masa perkenalan kami, tawa kami, kekonyolan kami, dan kini semuanya terasa tak punya arti. Lidahku kelu. Serbuan air mata telah siap meluncur dibalik pelupuk mata, aku merasa bodoh dan malu.
Dania berbalik pergi tanpa sempat aku tersadar dari belalak mataku. Aku tahu dia membenci air mata, karenanya aku tak akan pernah menangis di depannya. Tak akan pernah. Aku mengenalnya lebih dari apa yang orang lain bayangkan – semula aku berpikir seperti itu. tapi itu tidak lebih dari sangkaku selama 4 tahun.
0 komentar:
Posting Komentar