aku dan sepenggal bait hidupku...

Catatan kecil milikku (untuk bidadari dunia, ini kisahku!)

Well, ini hanya catatan seorang gadis tentang dirinya dan kehidupannya. Mungkin suatu saat semua ini akan menjadi kenangan yang tak dapat diukur dengan harga… dia bingung harus memulai dari mana ia mengisahkan hidupnya. Ingatannya tidak buruk tapi butuh waktu untuk merangkai semuanya menjadi suatu kisah dengan utuh.

CATATAN kecil Milikku

Tampaknya benar bahwa remaja begitu pedulI dengan apa yang dinamakan self image dan menganggap dirinya unik dan istimewa. Itu lah yang aku alami di awal masa remajaku. Sekitar usia 13 hingga 16 tahun aku merasa bahwa diriku tidak ada duanya, aku istimewa. Masih kuingat kepercayaan diriku untuk ikut klub melukis karena aku terbiasa menggambar sejak TK dan beberapa kali gambarku termasuk dalam jejeran gambaar-gambar dalam pemeran sekolah di sekolah menengah pertama. Masih kuingat jelas masa keemasanku saat aku begitu ingin diakui. Keegoisan. Ambisi. Hidupku pernah penuh dengan keduanya. Namun kemudian aku mulai merasa lelah untuk itu, lelah untuk selalu menunjukkan citra diriku. Bukan karena aku tak lagi punya motivasi, tapi terkadang ambisi membuatku tertekan dan hampir mati tercekik karena sesaknya. Aku pernah dilanda stress berkepanjangan karena nilaiku tidak sebesar yang aku inginkan, aku pernah mengurung diri karena kegagalanku untuk mempertahankan gelar juara umum yang pernah kusandang, aku pernah mengisolasi diriku dari orang lain saat tahu aku tidak memenangkan suatu kompetisi. Ya, itulah aku. Aku tidak bisa bersiap untuk kalah.

16 tahun aku lewati, selanjutnya setelah semua hal yang membuatku pernah begitu terluka dengan kekalahan. Diriku yang baru tengah kubentuk. Masa awal SMA, aku bertemu dengan orang-orang baru. Lingkungan baru. Kenyataan baru yang membuka mata lebih lebar. Rasa istimewa itu berangsur-angsur menghilang, sebaliknya aku merasa orang lain begitu istimewa. entah apa orang lain pernah menganggapku istimewa seperti saat aku menatap mereka? Aku tak jarang bertanya apa yang mereka lihat dariku? Dan memang keinginan untuk mempertahankan eksistensi itu belum hilang sepenuhnya. Kegelisahan yang ada karena kekhawatiranku akan arti diriku. Ketakutan dipandang sebelah mata. Bagaimana pun aku butuh pengakuan. Konyol memang. Mungkin karena aku belum dewasa di usia yang ke-17 ini. Masih banyak pertanyaanku yang tak kudapat juga jawabnya. Tentang segalanya.

Beberapa kebenaran kutemukan dan pertanyaan yang baru selalu bermunculan. Setiap tanyaku terjawab,pertanyaan lain datang. Semakin ku ketahui, semakin aku tidak mengerti. Aku mengetahui bahwa ada batasan bagi pergaulan. Ada batasan bagi kami tuk saling berinteraksi, karenanya aku akhirnya memutuskan untuk tidak akan lagi berbuat apa yang selama ini dikenal sebagai trend pacaran. Awalnya sangat berat, terlebih aku saat itu sedang mengikuti trend tersebut. Aku sulit untuk mengatakannya. terbayang di benakku bagaimana mungkin aku sanggup memutuskan ini? Bagaimana harus aku berkata agar dampak yang timbul bukan lah suatu permusuhan? Bagaimana aku dapat bersikap tegas untuk ini? Tapi segalanya berjalan dengan kemudahanNya. Setelah beberapa kali berkirim pesan singkat, kunyatakan niatku dan pihak yang bersangkutan dapat mengerti meski aku belum bisa meyakinkannya bahwa itu lah keputusan terbaik.

Aku tidak mungkin melupakan itu seumur hidupku. Hal yang membuatku malu seolah aku adalah terdakwa. Bagaimana bisa dulu aku begitu bangga dengan status yang tidak berarti itu? bagaimana bisa aku begitu bangga dengan kesesatan itu? bagaimana bisa aku mengacuhkan harga diriku untuk itu? teringat, dulu aku pernah menangis karena lepas darinya. Segalanya tetap meninggalkan bekas yang jelas. Aku malu. Sangat. Membicarakannya membuatku seolah berada dalam jelaga dengan sekelilingku gumpalan awan. Saat sahabat-sahabatku berkata bahwa orang yang menjalani tren itu adalah seperti kue yang dijajakan tanpa plastic, dan tak tertata dalam etalase. Semua orang dapat menjamahnya tanpa dibeli. Aku sangat malu. Sungguh dulu aku pernah menjalani tren itu meski demi Allah aku tidak pernah membiarkan seorang lelaki pun berbuat tak sopan padaku. Walaupun pengertian sopan itu pernah sedikit berbeda dalam pandanganku yang dulu dan saat ini. Dulu, kupikir berpakaian tertutup adalah sopan meski aku tidak mengenakkan kerudung. Dulu, kupikir tak apa jika tangan ini menyentuh siapapun sekalipun itu bukan mahramku. Dulu, kupikir maksiat itu adalah semua hal yang lebih dari sekedar berjabat tangan. Dulu, begitu banyak kesalahanku dalam berpikir.
Kucoba untuk berubah walau tidak semua senang dengan perubahanku. Sahabat-sahabat lelakiku tampak tersinggung saat kukatupkan tanganku saat mereka mencoba untuk berjabat setelah kami lama tidak bertemu, mereka risih denganku, mereka menganggap itu adalah sebuah hinaan bahwa mereka menjijikkan bagiku. Tidak. Tidak ada niatku untuk bersikap seperti itu. keluargaku terlihat tidak senang dengan caraku berpakaian yang mereka bilang sangat merepotkan. Namun lambat laun mereka semua mengerti. Sahabatku tidak memaksaku untuk menjabat mereka lagi meski mereka masih risih terhadapku, padahal aku tetaplah sahabat mereka yang masih bicara cerewet seperti dulu. Keluargaku tidak mempersoalkan cara berpakaianku lagi.


"Didedikasikan untuk saudari-saudariku, bagi yang ingin dan tengah berubah..."

0 komentar: