aku dan sepenggal bait hidupku...

Kejutan takdir buat Nadzirah (1)


Diskusi Remaja?!


Mesjid tampak lengang, tak banyak yang berlama-lama singgah karena telah saatnya untuk melanjutkan kembali aktifitas dan pekerjaan. Sesosok tubuh tampak bersandar di dinding sebuah mesjid, di wilayah khusus akhwat. Berkali-kali terdengar helaan nafas dan keluhan kecil dari mulutnya.

“ Dzi, balik yuk ke ke kelas. Kamu gak dengar jeritan bel yang menggelegar tadi?”. Kaila menegur sosok yang telah menjadi sahabatnya selama 2 tahun itu.

“ Hiperbolik banget sih.” Sosok yang dipanggil ‘Dzi’ itu menjawab datar sambil beranjak dari duduknya dan merapikan kerudungnya yang setia bertengger sepanjang hari.

******

“ Kay, bisa luangkan waktumu sebentar? Ada yang perlu aku bicarakan.”

“ Aku ada rapat, Nadzirah. Jangan sekarang. Oke?. Love you.” Kaila melangkah menjauh dari Nadzirah sambil menyalaminya dari jauh. Nadzirah mengangguk lemah.

Sudah 3 hari ini Nadzirah tidak tidur. Pikirannya sedang kacau, dan dia betul-betul butuh bicara dengan seseorang sekarang. Masalah yang dihadapinya mungkin tidak seberapa besar, tidak sehebat isu gempa atau segempar masalah bom, tapi ini cukup membuatnya perasaannya tidak keruan dan membuat emosinya labil. Masalah yang pernah dialami oleh seluruh manusia di bumi ini, mengenai kerenggangan hubungan di tengah keluarga karena ketidakpaduan dalam komunikasi. Bagi Nadzirah ini semakin berat, karena kini sahabatnya tidak cukup memiliki waktu untuk mendengarkan keluh kesahnya.

“ Nadzirah, kamu akan ikut acara itu?”. teman di sebelahnya, Hanis bertanya pelan.

“Ehm, acara apa?”, tanyanya setengah sadar dan bingung.

“ Itu.” tunjuk Hanis ke arah selebaran yang sedari tadi dipandangi oleh Nadzirah ketika melamun. “ berminat?”, lanjut Hanis. Nadzirah membaca brosur yang dipegangnya. Sepertinya akan ada ajang diskusi remaja di Sukabumi selama satu minggu ke depan.

“Ehm, aa..aku ikut. Insya Allah.” Putus Nadzirah tanpa berlama-lama berpikir. “ Tidak ada ruginya, acaranya berkualitas kok, diskusi itu sehat.” Batin Nadzirah meyakinkan keputusannya sendiri.

“ Aku rasa akan sangat membosankan sekali. Hehe.. Kamu yakin akan ikut?.” Hanis berujar dengan sangat santai dan membuat hati Nadzirah was-was atas keputusan yang telah diyakininya beberapa detik yang lalu.

“ Ehm, iya… aku pikir menarik.” Nadzirah menenangkan dirinya sendiri dan bertanya, “ Siapa lagi yang akan ikut?”.

Hanis mengerjap. “ tidak ada seorangpun, Nadzirah. Hanya kamu.” Nadzirah tersenyum kecut.

*****

Nadzirah tampak celingukan di antara puluhan yang ada di ruangan itu. Matanya berkeliaran mencari sosok yang mungkin saja dikenalnya, tapi nihil. Nadzirah menghadiri acara diskusi remaja itu tepat sesuai janjinya pada diri sendiri.

“ diskusi remaja, tapi kok yang datang orang-orang berkumis”, batinnya. Dia mulai cemas, yang terlihat di sekelilingnya adalah orang-orang berusia 19 hingga 21 tahun dan beberapa remaja yang seusia dengan dirinya. Kurang sekali peminatnya dari kalangan seusianya batinnya lagi.

“ Permisi. Apa di bangku di sampingmu itu bernomor 78?”, seseorang menegurnya. Nadzirah menoleh, ada seorang lelaki berdiri dengan baju koko putih di sana. Nadzirah mengangguk dan tersenyum sekenanya. Dalam acara ini kursi-kursi di beri nomor, dan setiap peserta duduk berdasarkan nomor yang didapat. Lelaki itu mengangguk sopan dan berterima kasih lalu duduk di kursinya.

Acara dimulai. Peserta diskusi yang berjumlah total 85 orang dibagi menjadi 7 kelompok. Kelompok pertama terdiri dari peserta dengan nomor 1 hingga 15, kelompok kedua terdiri dari peserta dengan nomor 16 hingga 30 dan begitu seterusnya.

Sesi pertama diisi dengan perkenalan antar anggota kelompok masing-masing.

“ Kalian bisa panggil aku, Nadzirah. Aku 17 tahun, semoga kita bisa bekerja sama. Terima kasih.” Nadzirah mengakhiri perkenalan singkatnya. “ Kamu yang termuda di kelompok kita, Dzi. Semangat ya!.” Ketua kelompok 7, Asahy menimpali. Asahy adalah orang yang sangat ramah dan begitu peduli pada orang-orang di sekitarnya. Kini giliran lelaki bernomor 78 itu yang berdiri.

“ Saya Kenzie Muhana, tapi cukup panggil saja Ken. Saya 19 tahun. Terima kasih.” Ujar Ken sambil duduk kembali.

*****

Hari kedua diskusi, membicarakan motivasi dan cita-cita. Bukan topik yang asing dibicarakan, tapi tidak habis-habisnya dibahas. Entah kenapa Nadzirah bergumam sendiri.

“ Aku ingin semua hal terbaik yang bisa aku raih, aku rengkuh untuk kemudian aku dapatkan.” Semua peserta diskusi di kelompok 7 tersenyum.

“ Kalau begitu berusaha lah, selama niat itu ada, kiat itu pasti tidak berhenti kamu lakukan. Tapi jangan pernah berpikiran sempit mengartikan kata terbaik itu, ketika kamu memaksimalkan potensimu, kamu terbaik. Ketika kamu berusaha dengan sekuat tenagamu, kamu terbaik. Ketika kamu meniatkan semua yang kamu lakukan demi Dia yang Maha berkuasa, saat itu kamu berhasil, kamu terbaik!” Asahy berkomentar sambil tersenyum ramah.

Nadzirah tersenyum. Semua orang yang hadir dalam diskusi itu memiliki pikiran-pikiran terbuka dan baginya itu sangat menenangkan, apalagi selama ini dialah yang menjadi ‘tong sampah’ bagi teman-temannya. Nadzirah adalah tempat curhat bagi adik-adiknya.

Kenzie termenung lalu katanya, “ aku ingin kamu memiliki kekuatan serta keyakinan dan karenanya kamu sanggup berdiri dengan apapun yang kamu miliki.”

Nadzirah menoleh. Ken melepaskan kacamatanya, dan berkata lagi, “ saat kamu mendapatkan hal terbaik pun, kamu akan mampu menghadapinya dengan kekuatan dan keyakinan itu. kamu akan melihat hal-hal terbaik dari hidupmu bahkan saat kamu pikir kamu tidak mendapatkannya.”

Nadzirah tertunduk, terkesima dengan perkataan Ken yang begitu mengena di hatinya. Kekuatan dan keyakinan. Itu lah yang dia butuhkan saat ini.

“Jangan mulai lagi deh, Ken. Kamu kutip perkataan itu dari buku apa lagi?.” Hara menyindir Ken dengan senyumnya yang jenaka. Dia sama sekali tidak bermaksud mengejek Kenzie.

“ Dasar kamu!.” Ken tertawa sambil memakai kacamatanya kembali. Nadzirah terpekur. ‘Benarkah itu kutipan dari sebuah buku yang Kenzie baca? Buku apa?’, Nadzirah membatin.

“ Aku bukan plagiator. Kamu tahu hal itu, Ra.” Ken menambahkan.

“Sudahlah, kamu mengutip atau tidak, bukan itu yang menjadi soal. Yang terpenting, Dzi telah mendapatkan kekuatan baru. Bukan begitu, Dzi?.” Aisyah menengahi. Nadzirah tertawa.

“kalian saling mengenal?.” Tanpa sadar Dzi bertanya.

“Ya. Kami memang saling mengenal. Kenzie, si kutu buku. Asahy, motivator amatiran. Hara, pencair suasana. Aku, si penengah, jika mereka bertengkar.” Aisyah mengedipkan matanya sebelah. Lucu.

“ kalian tampak rukun. Satu universitas? Satu kampung atau ….??.” Nadzirah semakin tertarik.

“ Kami berkenalan di forum diskusi remaja, sejak 2 tahun yang lalu. Tidak ada yang satu kampung atau satu universitas tapi kami biasa bertemu setiap ada forum diskusi remaja di Sukabumi. Selebihnya kami berkumpul di perpustakaan umum.” Hara menjawab cepat.

“ Berarti kalian semua suka baca buku dong? Wah…” Nadzirah tidak berhenti berdecak kagum.

“ Yeah, tapi dia rajanya kutu.” Ujar Aisyah menunjuk Kenzie yang terdiam. Ken tidak banyak omong, hanya bicara jika diperlukan dan jika dia mau.

*****

0 komentar: