Jangan menjanjikan taman hati,
pada ilalang yang setiap pagi kau injak di tepi
karena ilalang hidup bukan untuk tersenyum penuh pada kupu-kupu
Ilalang tegar dalam setiap terpa ketidakpengertian
untuk menatap kerontang di awal musim kemarau
untuk menikmati panas yang menggantang
untuk memahami belaian badai
atau terantuk-antuk pada batu nisan tempatnya merangkai tenang
Ilalang bebas dengan sabana gersang
bahagia dengan capung-capung
yang meningkahi tangkai lenturnya
Bahagia dengan setiap hentak
yang menjadikannya kuat
Bahagia tanpa harus tertata
dan menyombongkan diri pada daisy yg berjejer rapi
Jangan pernh menjanjikan taman pada ilalang
hanya karena kamu merasa bersalah
untuk setiap tangkai yang rebah karenamu...
Karena ia tahu,
ia akan dapat menunggu lebih lama,
lebih lama lagi
bukan untuk pengelana yang akan memboyongnya pada taman-taman sanubari
tapi pada pecinta yang tertawa
dan menghabiskan sisa waktunya untuk tetap tinggal
di padang siang..
".... Dan maukah kamu mendapat ganti yang lebih buruk dari yang Allah janjikan kepadamu?"
Aku masih mengingat terjemahan dari surat Al Baqarah ayat 61 itu. Dan ini sama sekali bukan puisi, hanya sebuah kesadaran yang meluap untuk malam-malam panjang yang menggelisahkan.
tak bisa aku biarkan aku terbang dengan sayap 'jika'
sedang langit hijauku mungkin saja bukan dia
mungkin saja anak kunci dari pintu kesempurnaanku bukan dia
maka tak sepantasnya aku mendamba langit yang bukan tempatku
Bagaimana mungkin kupaksakan pintuku untuk terbuka?
Bukankah ini pengkhianatan?
sebab langit hijauku yang megah terabaikan
Aku ingin berhenti dari ini.
Ya Rabb.. izinkan aku berharap pada apa yang Engkau tentukan
Ya Rabb.. inikah yang dinamakan kororan hati?
aku meneguk racun dalam setiap iringan ekor mataku
dalam anggur hitam yang tak membiarkan tuannya berhenti
dari taruhan jiwa
Riak yang membulat pada tepi,
membuyar, melagukan syair keheningan
dan aku membelah pekak ilusi
dengan anyaman air yang menari
sapaan tetes,
membuatku tersadar dari mati
dan ini,
satu lagi yang tertangkap
kala geleparmu menerpa tanah
untuk yang kesekian kalinya,
tentangmu, wahai hujanku
you ask me for painting the cloud
by a gloomy heart
sure, who wanna refuse your asking?
you ask me for being a water sculptor
there's nothing that impossible
I just look at you for a glance
yeah, and always you
who keep the dark away from me
teach the amazing way to face this world
share the laughter to show how beautiful it is, a happiness life
I don’t know why,
You didn’t let me flow the river of tears
You didn’t let me know how the darkness is felt
cause those all,
thanks. ^^
Jejak abu perapian di sisi hati
ayunan sayap peri yang tertinggal di daun jendela
hembusan jam pasir yang mendesis jemu
rumah tinggal apa yang kumasuki?
Kamar-kamar dingin yg tertelan penat
dinding batu yang terpercik darah kumal
darah pembual - di atas tangis pembebasan
cerobong dengan asap hitam memucatkan sang biru
rumah tinggal apa yang kulihat?
Selasar tepi tanpa penahan benci
tangga keangkuhan yg berkeriut ngeri
tanah yg terinjak mendengus marah
ah... Rumah macam apa ini?!
Hai,engkau yang trsenyum dengan pedih
kenapa tak kau perbaiki
rumah kalbu yang kau tempati?
Read More......
Anggapmu aku apa?
Tempatmu melandas untuk menyapa awan?
daramu yang kau pikir bisa melukis Arsy?
Tempatmu bertolak demi hujan yg menjanjikan pelangi?
Aku tak pernah punya angan
aku tak pernah menanam harap
aku tak pernah.
Bahkan untuk memejamkan mata demi mimpi pun aku tidak.
Cukup kamu dengan kilau janjimu
dengan taburan mutiara kasih
memang tak membuat detak
memang tak berdesir kuat
tapi cukup untuk membuat paham,
menjdi setitik celah untuk jiwaku
sedikit memerahkan rautku
kini,
kamu baru tersadar
langit lain lebih luas tuk kamu dekap
dengan ruas pelangi d setiap kakinya
kenapa kamu menyapa langitku?
Terbang dengan pongah,
anggun memeluk bintangku
kenapa?
Bila sekarang kau menukik manja
melayang pada mega yg tak kupunya?
Cukup. Sejak awal aku tak mau.
Dan seharusnya kamu tahu,
ini menyesakkan.
Meski aku tak berharap,
aku kecewa. Sangat.
Read More......
aku punya apa selain hati? yang bahkan diremehkan-seringkali diragukan. aku tahu dari tawa mereka yang menghinakan, dari ledekan mereka yang memekakkan telinga. aku perempuan tak berhati, begitu kata mereka. yang benar saja? aku merasa terluka. bukankah itu bukti betapa hatiku tak sekeras yang mereka katakan? apakah karena tak pernah ku tersipu, karena tak jarang aku gusar akan manis mereka? Aku rasa – sudah seharusnya kita (wanita dan laki-laki) saling menjaga diri. Kadang aku dibuat kecewa oleh (maaf) ikhwan – lelaki yang kuanggap sudah bisa dan paham akan pentingnya menjaga hati. tanpa bermaksud menganggap keji perbuatan mereka yang menggoda akhwat, meski aku sebetulnya menyayangkan. Tidakkah mereka mengerti? Betapa muslimah adalah tetap seorang wanita, yang akan tersipu jika dipuji, yang akan tersentuh dengan perilaku yang dibuat menawan (maaf, jika kesannya menuduh.hehe..).
Tanpa berniat memprovokasi, aku rasa kita harus renungkan bersama. Seorang ikhwan kadang aku dengar menggoda akhwat dengan kalimat yang dibuat se-islami mungkin, " tahu gak, Aisyah ra juga seperti kamu lho, emosional." Aku dibuat terhenyak mendengarnya. Ya Rabb… sungguh tak terkatakan lagi bagaimana malunya. Tak jarang ada yang berjanji, "Ukh, saya akan khitbah setelah lulus SMA". Ya ampun..kesannya memaksakan sekali. Duh, ikhwan.. kenapa kalian tega meracuni kami? (maaf, ya.hehe..) kami punya hati yang sama-sama mudah ternodai, meski kami upayakan banyak hal untuk mencegahnya. Di sini, aku cuma sedikit berbagi, semoga apat menjadi bahan muhasabah untuk kita semua.(NNS)
itu adalah masaku
masa kecintaanku pada kelabu
yang menggantung di bibir langit..
berlarian ke sela yang tak mungkin
dan tak bisa kuhela..
setiap titik pun meniupkan hidup sebuah imaji..
Imajiku tentang hujanku
imajiku tentang semua kemurahan hati sang langit
aku alpa,
dalam kemurahan itu
ada gelegak marah yang tak bisa dibendung
pijar-pijar tajam yang melumat keras yang mengerak
ada detik detik yang meningkahi langkah siput
berantakan, kacau!
aku benci untuk tidak menyenanginya...
sebab hujanku akan tetap menjadi hujan
yang menyambung nafas dunia
yang tersenyum dalam biduk pelangi
kesemuanya..
Tentu saja aku mau
jemariku tak hanya terlindung di balik tudung
tak cukup dengan menuding
'kan kubawakan seikat tahta buatmu
Tentu saja aku mau
meletakan semua kepingan pada tempatnya
melewati setiap desak yang buat berserak
tapi pelukku tak sampai pada hatimu..
Apa yang bisa aku lakukan?
karena semua mauku
tak punya hak untuk bicara demi senyummu
tentu saja aku mau, sahabat
mengikat setiap nafas yang terlepas
menangkap setiap desir hati yang tak terungkap
menabur pelangi di ujung hari
Jika saja itu bisa membuatmu memaafkanku,
aku mau.
-----------------------------------------------------------------------------------------------
note : ini hadiah Idul Adha dariku.. di samping sepenggal do'a yang terajut untuk kalian, sahabat...
Aku suka caranya tersenyum kecut pertanda tak setuju, aku suka keterbukaannya dalam ketidaksetujuan yang biasa kumaknai diam. Aku menyukai perbedaan kita. kita saling melempar tuduhan, yang kita ketahui sama-sama bahwa tak ada satu pun yang benar. Ini hanya cara kita untuk sebuah persahabatan.
Cara kita untuk sebuah persahabatan. Caraku – akhirnya kusimpulkan hal itu ketika semuanya meledak.
“ aku muak.” Dania menerjang batinku dengan telaknya. Aku hampir saja merasakan bahwa duniaku berhenti berputar.
“ kenapa? Ada apa? Apa yang terjadi?”. Aku tidak dapat menahan diri untuk mengeluarkan selongsong pertanyaan yang biasanya kubiarkan tetap tergantung rapi.
“ pikirmu, aku ada untuk mendengar semuanya – hal-hal yang kamu katakan? Telingaku tak hanya berfungsi untuk itu. dan aku jenuh.” Kelebat-kelebat masa lalu berputar bergantian dengan cepat. Masa perkenalan kami, tawa kami, kekonyolan kami, dan kini semuanya terasa tak punya arti. Lidahku kelu. Serbuan air mata telah siap meluncur dibalik pelupuk mata, aku merasa bodoh dan malu.
Dania berbalik pergi tanpa sempat aku tersadar dari belalak mataku. Aku tahu dia membenci air mata, karenanya aku tak akan pernah menangis di depannya. Tak akan pernah. Aku mengenalnya lebih dari apa yang orang lain bayangkan – semula aku berpikir seperti itu. tapi itu tidak lebih dari sangkaku selama 4 tahun.
Jika kamu bertanya,
sehebat apakah kamu di mataku?
bagaimana bisa aku menjelaskan
sedang matamu saja memberikan lautan tanya
buatku mencari jawab
jika kamu bertanya,
seberharga apa kamu di mataku?
bagaimana bisa aku menilai,
sedang badaiku yang mengamuk semalaman
bisa menjadi bgitu meneduhkan saat kamu di sisi
Jika kamu bertanya,
tentang artimu padaku
sama saja dengan mempertanyakan
sang camar yang bersahabat dengan cakrawala
kenapa?
apa?
bagaimana?
aku hanya dapat menggeleng
dalam bingungku
cukupkan tanyamu, dan percayalah.
aku memang ada tanpa sayap
aku memang ada dengan dua tangan
tapi itu cukup untuk merengkuhmu, sahabat...
Tak cukup kau ajari aku
dengan laku
sebab arti yang berlaku
tak setunggal yang kau mau
tak cukup kau ajari aku
dengan paras tak setuju
karena itu tak membuatku tahu
letak kesalahan yang berbuntut kelu
tak cukup kau ajari aku...
Persahabatan kita, rumit bagiku
pemahaman dangkalku yang menerjang jurang
curam tanpa dasar...
Tangan ini menggenggam udara,
sementara sungaiku memancar tanpa pengertian
kau bukan tongkat
untuk menuntunku
kau bukan malaikat
yang terbangkan waktu...
Kau sahabatku!
Read More......
Mudah saja,
Beri aku sedikit lekukan pada bibirmu
Maka aku akan menghambur dengan tawa
Mudah saja,
Caci aku ketika cekik itu ingin kamu lepas
Dan aku akan mengerti apa maumu
Mudah saja,
Perlihatkan celaku yang teramat fatal
Gunakan kata paling ampuh tuk buatku mengerti
Betapa salahnya aku – dan dimana letak sebuah kecacatan itu
‘kan ku ubah semuanya
Mudah saja,
Tuk katakan ini.
Tapi kemanakah hati ini akan pergi?
Meski ingin kuhentikan masaku
Meski ingin kusingkirkan kepedulianku
Aku masih di sini.
Entah menanti apa atau siapa
Entah .
Read More......
Masih kubaca pesan itu. berulang-ulang.
mencoba mencari kemungkinan lain.
Aku tidak bodoh, aku suka sekali syair.
Tapi entah kenapa syair ini kubaca tanpa henti.
Bahasanya mudah saja, beberapa larik dicatut dari sebuah lagu
Tapi, aku menatap lama, seolah menemukan sebuah naskah kuno
dalam bahasa sanskrit
Mungkin aku senang, mungkin juga tidak.
Semua hal mengabur, menjernihkan sisi yang lain
namun bagiku ini membingungkan.
Mungkin jarak tak lagi jadi soal
mungkin apa-apa yang penting tak berarti lagi,
tapi tetap saja aneh..
Mungkin ini keajaiban milikNya,
Mungkin....
Mungkin....
----------------------------------------------------------------------
Aku masih menatap susuran huruf di pesan masukku..
Kamu tahu,
kenapa hujan adalah hadiah Tuhan?
Hujan memercik dengan gemuruhnya
tak membekas di resapan pulau
tapi setelahnya,
ada indah yang nyata
ada hijau yang memecah resah
ada kehidupan yang tersipu, tersenyum cerah..
Itulah kamu bagiku
Itulah kamu dengan caramu memperlakukan aku
Adakah surga dibayar Dengan sebuah mahkota yang ditukarkan? Adakah taman itu ditempuh Hanya dengan kebahagiaan yang dilimpahkan Atas titah tetua pada seorang yang semula ratu Untuk menyerahkan putik kecintaanya Membiarkan pesona-pesona lainnya untuk mekar Bukan hanya dia sebagai mawar yang tertanam di ladang pengharapan?
adakah jalan lain? bagi raja yang ingin memberi bingkisan sempurna taman dimana sang Adam memohonkan rusuknya, Hawa adakah penghormatan lain selain menyerahkan keharuman pinus segar berbaur dengan keharuman jeruk basah bahkan anggrek liar?
“ yang tak kumengerti dari mereka – para lelaki” Terinspirasi buku Asma Nadia, Catatan Hati Seorang Istri
Aku lupa, angin yang biasanya datang menjemput bisuku telah berubah jadi beliung yang meliuk menampar jiwa kanakku
aku lupa, di kidung pagiku tak bersisa embun yang menetes keperakan tapi siulan cahaya yang bertalu diantara guguran daun pohon Willow
aku lupa, mutiara hati tak hanya berkilau mengabarkan keanggunan pekerti tapi juga dapat menggelap pekat menelan hitam yang tak tembus cahaya
dan aku tidak ingat, saat tarian pena kumulai, pedang itu tengah kumainkan...
Pagi ini, bibir cangkirku retak dalam kontradiksi yang kubiarkan masuk perlahan dari teko kebimbangan.. Haruskah kulekatkan? Atau melepaskan setiap serpihan yang bisu dalam satuan waktu..
Kuat itu... Apakah tak menangis? Apakah tak butuh manusia lain? Apakah mendekap badai dan menelan bulat-bulat kesedihan?
Lemahkah? Jika hanya dengan tampikan halus getar itu menyergap, menghantamku? Lemahkah? Jika tawaku hilang terbenam semua keresahan menungguku tenggelam, sesak dalam rawa suram?
Aku mungkin bisa lepas, aku mungkin bisa tertawa tnpa beban, tapi tidak jika kamu berkubang dalam kesendirian tapi tidak, jika kamu menatap kosong padaku. Aku akan kuat demi diriku, tapi tidak jika kamu menyongsong gelap
tak masalah, aku mudah untuk terluka tapi aku juga mudah untuk pulih. Aku mudah menangis, tapi juga tak sulit bagiku tuk tertawa
tak masalah, tapi tidak jika kamu yg bgitu.. Tak masalah, apa yang terjadi padaku tapi tidak, jika menimpa sahabatku..
Karena, aku si lemah yang kuat juga si kuat yang lemah
It was a long journey i started it with no one beside me i just looked everywhere there were a lot of communities there were many kinds people but.. There's a lie in everyone I see
I saw white princess' and princes each of them wore a mask that was sowed by a pearl from the unspeaking depth of ocean they smiled to me, said the goodness 'bout me but... they cursed me like a witch what's the difference of both?
I know, that the world is always like this but.. is there anyone wanna change it?
Kita dekat, membuat iri dunia dan kedekatan itu menjanjikn ujian yang tak mudah
kita dekat, meyakinkan banyak orang bahwa teman sejati bukan hanya sekadar ilusi kedekatan itu pula yangg menciptakan bayang hitam, menyodorkan gelapnya ketidakpercayaan
kita dekat, dan pengujian kita tak kalah merapat jangan katakan yang selama ini hanya imaji kita nyata, kamu tak berbeda bukankah kita di dunia yang sama?
Dan jika banyak hal memaksa kita tuk menyerah, genggam tanganku atau aku yg akan meraihmu 'lewat banyak cara' ya, benar aku kikuk dan menahan kasih sayang
hei, bukankah seseorang berteman karena melihat dirinya pada orang lain? katamu, sok tahu? tapi, kita bisa akui mungkin itu tidak salah.
Cukup, hanya satu dari ribuan stanzaku yang membedakan syair kerinduan tentang teman sejati, seseorang yg darinya lah aku ada
suatu masa, dia akan menderakkan pintu-pintu bahagia menyingkirkan bising kegalauan dan dia menjemputku pada rumah cahaya
hatiku bukan lelah tuk menanti, cuma getar itu tak juga nampak tak juga memperlihatkan riak d air tenangku masih tercukupi semua rinduku, masih terobati semua resahku,
kemarilah setelah titian tangga imanku semakin naik, kemarilah saat sutera kearifan itu selesai kutenun kemarilah setelah selendang azzam ku sempurnakan
dan untuk saat ini, biar aku siapkan segalany dalam khayanganku.. Biar waktu menjadi kawan kita dalam memperbaiki diri takdirmu, takdirku sang waktulah penyampai terbaik atas beritanya..
Mesjid tampak lengang, tak banyak yang berlama-lama singgah karena telah saatnya untuk melanjutkan kembali aktifitas dan pekerjaan. Sesosok tubuh tampak bersandar di dinding sebuah mesjid, di wilayah khusus akhwat. Berkali-kali terdengar helaan nafas dan keluhan kecil dari mulutnya.
“ Dzi, balik yuk ke ke kelas. Kamu gak dengar jeritan bel yang menggelegar tadi?”. Kaila menegursosok yang telah menjadi sahabatnya selama 2 tahun itu.
“ Hiperbolik banget sih.” Sosok yang dipanggil ‘Dzi’ itu menjawab datar sambil beranjak dari duduknya dan merapikan kerudungnya yang setia bertengger sepanjang hari.
******
“ Kay, bisa luangkan waktumu sebentar? Ada yang perlu aku bicarakan.”
“ Aku ada rapat, Nadzirah. Jangan sekarang. Oke?. Love you.” Kaila melangkah menjauh dari Nadzirah sambil menyalaminya dari jauh. Nadzirah mengangguk lemah.
Sudah 3 hari ini Nadzirah tidak tidur. Pikirannya sedang kacau, dan dia betul-betul butuh bicara dengan seseorang sekarang. Masalah yang dihadapinya mungkin tidak seberapa besar, tidak sehebat isu gempa atau segempar masalah bom, tapi ini cukup membuatnya perasaannya tidak keruan dan membuat emosinya labil. Masalah yang pernah dialami oleh seluruh manusia di bumi ini, mengenai kerenggangan hubungan di tengah keluarga karena ketidakpaduan dalam komunikasi. Bagi Nadzirah ini semakin berat, karena kini sahabatnya tidak cukup memiliki waktu untuk mendengarkan keluh kesahnya.
“ Nadzirah, kamu akan ikut acara itu?”. teman di sebelahnya, Hanis bertanya pelan.
“Ehm, acara apa?”, tanyanya setengah sadar dan bingung.
“ Itu.” tunjuk Hanis ke arah selebaran yang sedari tadi dipandangi oleh Nadzirah ketika melamun. “ berminat?”, lanjut Hanis. Nadzirah membaca brosur yang dipegangnya. Sepertinya akan ada ajang diskusi remaja di Sukabumi selama satu minggu ke depan.
“Ehm, aa..aku ikut. Insya Allah.” Putus Nadzirah tanpa berlama-lama berpikir. “ Tidak ada ruginya, acaranya berkualitas kok, diskusi itu sehat.” Batin Nadzirah meyakinkan keputusannya sendiri.
“ Aku rasa akan sangat membosankan sekali. Hehe.. Kamu yakin akan ikut?.” Hanis berujar dengan sangat santai dan membuat hati Nadzirah was-was atas keputusan yang telah diyakininya beberapa detik yang lalu.
“ Ehm, iya… aku pikir menarik.” Nadzirah menenangkan dirinya sendiri dan bertanya, “ Siapa lagi yang akan ikut?”.
Hanis mengerjap. “ tidak ada seorangpun, Nadzirah. Hanya kamu.” Nadzirah tersenyum kecut.
*****
Nadzirah tampak celingukan di antara puluhan yang ada di ruangan itu. Matanya berkeliaran mencari sosok yang mungkin saja dikenalnya, tapi nihil. Nadzirah menghadiri acara diskusi remaja itu tepat sesuai janjinya pada diri sendiri.
“ diskusi remaja, tapi kok yang datang orang-orang berkumis”, batinnya. Dia mulai cemas, yang terlihat di sekelilingnya adalah orang-orang berusia 19 hingga 21 tahun dan beberapa remaja yang seusia dengan dirinya. Kurang sekali peminatnya dari kalangan seusianya batinnya lagi.
“ Permisi. Apa di bangku di sampingmu itu bernomor 78?”, seseorang menegurnya. Nadzirah menoleh, ada seorang lelaki berdiri dengan baju koko putih di sana. Nadzirah mengangguk dan tersenyum sekenanya. Dalam acara ini kursi-kursi di beri nomor, dan setiap peserta duduk berdasarkan nomor yang didapat. Lelaki itu mengangguk sopan dan berterima kasih lalu duduk di kursinya.
Acara dimulai. Peserta diskusi yang berjumlah total 85 orang dibagi menjadi 7 kelompok. Kelompok pertama terdiri dari peserta dengan nomor 1 hingga 15, kelompok kedua terdiri dari peserta dengan nomor 16 hingga 30 dan begitu seterusnya.
Sesi pertama diisi dengan perkenalan antar anggota kelompok masing-masing.
“ Kalian bisa panggil aku, Nadzirah. Aku 17 tahun, semoga kita bisa bekerja sama. Terima kasih.” Nadzirah mengakhiri perkenalan singkatnya. “ Kamu yang termuda di kelompok kita, Dzi. Semangat ya!.” Ketua kelompok 7, Asahy menimpali. Asahy adalah orang yang sangat ramah dan begitu peduli pada orang-orang di sekitarnya. Kini giliran lelaki bernomor 78 itu yang berdiri.
“ Saya Kenzie Muhana, tapi cukup panggil saja Ken. Saya 19 tahun. Terima kasih.” Ujar Ken sambil duduk kembali.
*****
Hari kedua diskusi, membicarakan motivasi dan cita-cita. Bukan topik yang asing dibicarakan, tapi tidak habis-habisnya dibahas. Entah kenapa Nadzirah bergumam sendiri.
“ Aku ingin semua hal terbaik yang bisa aku raih, aku rengkuh untuk kemudian aku dapatkan.” Semua peserta diskusi di kelompok 7 tersenyum.
“ Kalau begitu berusaha lah, selama niat itu ada, kiat itu pasti tidak berhenti kamu lakukan. Tapi jangan pernah berpikiran sempit mengartikan kata terbaik itu, ketika kamu memaksimalkan potensimu, kamu terbaik. Ketika kamu berusaha dengan sekuat tenagamu, kamu terbaik. Ketika kamu meniatkan semua yang kamu lakukandemi Dia yang Maha berkuasa, saat itu kamu berhasil, kamu terbaik!” Asahy berkomentar sambil tersenyum ramah.
Nadzirah tersenyum. Semua orang yang hadir dalam diskusi itu memiliki pikiran-pikiran terbuka dan baginya itu sangat menenangkan, apalagi selama ini dialah yang menjadi ‘tong sampah’ bagi teman-temannya. Nadzirah adalah tempat curhat bagi adik-adiknya.
Kenzie termenung lalu katanya, “ aku ingin kamu memiliki kekuatan serta keyakinan dan karenanya kamu sanggup berdiri dengan apapun yang kamu miliki.”
Nadzirah menoleh. Ken melepaskan kacamatanya, dan berkata lagi, “ saat kamu mendapatkan hal terbaik pun, kamu akan mampu menghadapinya dengan kekuatan dan keyakinan itu.kamu akan melihat hal-hal terbaik dari hidupmu bahkan saat kamu pikir kamu tidak mendapatkannya.”
Nadzirah tertunduk, terkesima dengan perkataan Ken yang begitu mengena di hatinya. Kekuatan dan keyakinan. Itu lah yang dia butuhkan saat ini.
“Jangan mulai lagi deh, Ken. Kamu kutip perkataan itu dari buku apa lagi?.” Hara menyindir Ken dengan senyumnya yang jenaka. Dia sama sekali tidak bermaksud mengejek Kenzie.
“ Dasar kamu!.” Ken tertawa sambil memakai kacamatanya kembali. Nadzirah terpekur. ‘Benarkah itu kutipan dari sebuah buku yang Kenzie baca? Buku apa?’, Nadzirah membatin.
“ Aku bukan plagiator. Kamu tahu hal itu, Ra.” Ken menambahkan.
“Sudahlah, kamu mengutip atau tidak, bukan itu yang menjadi soal. Yang terpenting, Dzi telah mendapatkan kekuatan baru. Bukan begitu, Dzi?.” Aisyah menengahi. Nadzirah tertawa.
“kalian saling mengenal?.” Tanpa sadar Dzi bertanya.
“Ya. Kami memang saling mengenal. Kenzie, si kutu buku. Asahy, motivator amatiran. Hara, pencair suasana. Aku, si penengah, jika mereka bertengkar.” Aisyah mengedipkan matanya sebelah. Lucu.
“ kalian tampak rukun. Satu universitas? Satu kampung atau ….??.” Nadzirah semakin tertarik.
“ Kami berkenalan di forum diskusi remaja, sejak 2 tahun yang lalu. Tidak ada yang satu kampung atau satu universitas tapi kami biasa bertemu setiap ada forum diskusi remaja di Sukabumi. Selebihnya kami berkumpul di perpustakaan umum.” Hara menjawab cepat.
“ Berarti kalian semua suka baca buku dong? Wah…” Nadzirah tidak berhenti berdecak kagum.
“ Yeah, tapi dia rajanya kutu.” Ujar Aisyah menunjuk Kenzie yang terdiam. Ken tidak banyak omong, hanya bicara jika diperlukan dan jika dia mau.
Setiap kali tidak memahami, Setiap kali tidak mengerti, Pengulangan ‘kan tetap terjadi… Kamu mengulang hingga kamu memaknai Kamu mengulang hingga kamu mengartikan Setiap bisikan cintaNya..
Ini tentang aku, kamu – siapapun yang merasa Dalam pengujian yang sebenar-benarnya menguji Dalam kesungguhanmu menghamba Artiku yang tak sama dengan apa pikirmu – mungkin
Kadang dugaku tak indah tentangNya Entah kamu, aku mungkin pernah berjibaku Setiap kekokohan yang dibangun Selalu dihantam yang lebih besar, lebih besar lagi Hingga tak ayal, Hampir buatku lepas dari kepenuhanku mempercayakan
Seolah dengan kuasaNya, Dia mempertanyakan kesungguhanku Menguji dengan detik-detik pemangsa Yang bisa membuatku tercekik dalam putus asa Yang mencengkeram mati diriku Dalam pusaran ketidak berdayaan..
Semoga aku tidak kalah Dalam perjuangan ini, Semoga nafasku ridak habis Sebelum aku mengerti…
Jika kamu bertanya, sehebat apakah kamu di mataku? bagaimana bisa aku menjelaskan sedang matamu saja memberikan lautan tanya buatku mencari jawab
jika kamu bertanya, seberharga apa kamu di mataku? bagaimana bisa aku menilai, sedang badaiku yang mengamuk semalaman bisa menjadi bgitu meneduhkan saat kamu di sisi
Jika kamu bertanya, tentang artimu padaku sama saja dengan mempertanyakan sang camar yang bersahabat dengan cakrawala
kenapa?
apa?
bagaimana?
aku hanya dapat menggeleng dalam bingungku cukupkan tanyamu, dan percayalah. aku memang ada tanpa sayap aku memang ada dengan dua tangan tapi itu cukup untuk merengkuhmu, sahabat...
The way you take care of me the way you know about me all the unique thinkings of yours those make me still pass my life
a mistake, moreover my life is crowded by a mount of mistakes, but friend, i do need you to complete me help me for collecting each pieces of my soul show me the tears that will be so beautiful when you're beside me
make me open my eyes, make me open my two arms please, don't let me wrong i'm gonna be blind, so bring me the light sometimes, i'm gonna be right
just trust me, the one who's never tired to comprehend you i'm the one who will try to understand you more
eventhough you can't see my willing and i don't promise you anything just a friendship, just for a totally friendship but i'm contradiction one sometimes, i will be so hard, so annoyed
no improvement, or may be here is a big step backward
those all become a monochromatic view the white was so clear, burn the reality that i'm not too white i'm the grey, who trapped between the light and the darkness
i wanna fly into the arms whom can bring me the truth whom not just make me concious but also see me as precious as he found a special thing
i wanna learn to be a white one as you wanted me to be
'tuk menjadi indah tak dibutuhkan makhota cahaya di kemilau rambutmu atau warna warni bunga di setiap kibaran kain yang menutupi kesucianmu hanya wajah tanpa gundah, dan dunia memberikan semua keindahannya padamu
'tuk menjadi indah tak diperlukan olesan merah di pipimu atau bubuhan yang memutihkan hingga ke cuping telingamu hanya satu tulus senyuman maka, bidadari-bidadri surga bahkan 'kan iri padamu...
'tuk menjadi indah bisa kau lihat putihnya awan yang berserak tanpa menjadi gangguan dapat kau pandang menguningnya dedaunan meranggas demi hidup pohon yang kekeringan
bening imanmu di setiap laku yang meneduhkan cahaya keperakan, kala wajahmu menegaskan kekokohan akhlak di setiap kibaran kain penutup, yang mengharumkan dan membuat setiap lelaki segan..
karena itu semua, kamu indah... kamu adalah putri di istana penuh cinta kamu adalah ratu di puri yang kan kau bangun nanti
Kadang aku terbuang jauh, dari hiruk pikuk mereka yg mengaku berakal, mendapati bnyak perbedaan, menyingkirkan bumiku yg tak berujung, mengkotak-kotakan kenyataan.. Merasa aneh sendiri, dan aku menikmatinya...
Kadang aku merasa seperti orang kebanyakan, dengan banyak hal mendasar.. Namun keterasingan itu tak lenyap, malah kian akrab Hingga aku menangis dibuatnya..
Kadang aku ingin trtawa, menikmati masa seperti mereka tapi tak jarang, aku benci untuk menjadi seperti mereka..
Semuanya, tentang mereka Mendekatkan aku pada satu fatamorgana,aku berbeda. Jerit itu berasal dariku, 'aku berbeda!' 'aku sama dengan mereka..!!' konfrontasi dahsyat mendesakku pada konferensi puncak kalbu...
"ayo gunakan hatimu! Pakai akal sehatmu!" demonstrasi kecil-kecilan Berjelalan di jalan panjang pikirku, tak ada yg mau mengalah. Amukan provokasi, menguatkan suhu emosi yg meledak-ledak Tapi tetap yg trjadi, hanya bulir d sudut mata..
Amarah, kekecewaan, kesedihan, kegundahan, ketidakberdayaan, mengakumulasikan gas air mata yg menghebat..
Aku lemah, aku akui itu.. Tapi ada yg Maha Menguatkan, yg menegaskannya melalui orang-orang yg mmberikn semangat, melalui orang-orang yg brkumpul dengan kasihNya..
Padang perang tak juga usai, letupan amarah masih bersarang, tegakkan bahumu, ksatriaku Agama merindukan setiap nafas perjuangan yang di suatu masa pernah bersinar, memayungi jagat dengan cahayaNya..
Kemenangan tidak sberapa, Nilai kekukuhanmu lebih berharga, pandanglah langit itu, itu milikmu, ksatriaku! Maka, mengapa kamu tak menjamahnya? Dengan nyanyian harapan, dengan murniny hati yg trbungkus iman.. Juga akal yg bgtu cemerlang...
Hujamkan kuat kakimu pada bumi, tapi tetaplah pandang cakrawala.. Masa depan 'kan menjadi kejutan takdir, maka lapangkn dadamu,ksatriaku untuk ikhtiar yg membutirkan letih d dahimu..
Dan jika perasaanmu membuncah keluar, tertekan semua kegundahan, kekecewaan, kepahitan, maka biarkn tetes itu jatuh... Dalam setiap beningnya, ada pasrahmu padaNya. Ada munajatmu pada kekasihMu.. Mengapa harus trtunduk malu? Kekasihmu tahu, sandaranmu lah bahuNya..
Ksatriaku, kuat bukanlah keangkuhan, yang menghinakanmu atas perih yg menyiksa.. Kuatlah demi agamamu, tapi lembutkanlah hatimu.. Sungguh, dengan begtu penduduk langit kan memintakan doa buatmu pun para pendosa di bumiNya, kan mencintaimu..
"untuk ksatria d zamannya, lelaki muslim, saudara-saudaraku..."
Well, ini hanya catatan seorang gadis tentang dirinya dan kehidupannya. Mungkin suatu saat semua ini akan menjadi kenangan yang tak dapat diukur dengan harga… dia bingung harus memulai dari mana ia mengisahkan hidupnya. Ingatannya tidak buruk tapi butuh waktu untuk merangkai semuanya menjadi suatu kisah dengan utuh.
CATATAN kecil Milikku
Tampaknya benar bahwa remaja begitu pedulI dengan apa yang dinamakan self image dan menganggap dirinya unik dan istimewa. Itu lah yang aku alami di awal masa remajaku. Sekitar usia 13 hingga 16 tahun aku merasa bahwa diriku tidak ada duanya, aku istimewa. Masih kuingat kepercayaan diriku untuk ikut klub melukis karena aku terbiasa menggambar sejak TK dan beberapa kali gambarku termasuk dalam jejeran gambaar-gambar dalam pemeran sekolah di sekolah menengah pertama. Masih kuingat jelas masa keemasanku saat aku begitu ingin diakui. Keegoisan. Ambisi. Hidupku pernah penuh dengan keduanya. Namun kemudian aku mulai merasa lelah untuk itu, lelah untuk selalu menunjukkan citra diriku. Bukan karena aku tak lagi punya motivasi, tapi terkadang ambisi membuatku tertekan dan hampir mati tercekik karena sesaknya. Aku pernah dilanda stress berkepanjangan karena nilaiku tidak sebesar yang aku inginkan, aku pernah mengurung diri karena kegagalanku untuk mempertahankan gelar juara umum yang pernah kusandang, aku pernah mengisolasi diriku dari orang lain saat tahu aku tidak memenangkan suatu kompetisi. Ya, itulah aku. Aku tidak bisa bersiap untuk kalah.
16 tahun aku lewati, selanjutnya setelah semua hal yang membuatku pernah begitu terluka dengan kekalahan. Diriku yang baru tengah kubentuk. Masa awal SMA, aku bertemu dengan orang-orang baru. Lingkungan baru. Kenyataan baru yang membuka mata lebih lebar. Rasa istimewa itu berangsur-angsur menghilang, sebaliknya aku merasa orang lain begitu istimewa. entah apa orang lain pernah menganggapku istimewa seperti saat aku menatap mereka? Aku tak jarang bertanya apa yang mereka lihat dariku? Dan memang keinginan untuk mempertahankan eksistensi itu belum hilang sepenuhnya. Kegelisahan yang ada karena kekhawatiranku akan arti diriku. Ketakutan dipandang sebelah mata. Bagaimana pun aku butuh pengakuan. Konyol memang. Mungkin karena aku belum dewasa di usia yang ke-17 ini. Masih banyak pertanyaanku yang tak kudapat juga jawabnya. Tentang segalanya.
Beberapa kebenaran kutemukan dan pertanyaan yang baru selalu bermunculan. Setiap tanyaku terjawab,pertanyaan lain datang. Semakin ku ketahui, semakin aku tidak mengerti. Aku mengetahui bahwa ada batasan bagi pergaulan. Ada batasan bagi kami tuk saling berinteraksi, karenanya aku akhirnya memutuskan untuk tidak akan lagi berbuat apa yang selama ini dikenal sebagai trend pacaran. Awalnya sangat berat, terlebih aku saat itu sedang mengikuti trend tersebut. Aku sulit untuk mengatakannya. terbayang di benakku bagaimana mungkin aku sanggup memutuskan ini? Bagaimana harus aku berkata agar dampak yang timbul bukan lah suatu permusuhan? Bagaimana aku dapat bersikap tegas untuk ini? Tapi segalanya berjalan dengan kemudahanNya. Setelah beberapa kali berkirim pesan singkat, kunyatakan niatku dan pihak yang bersangkutan dapat mengerti meski aku belum bisa meyakinkannya bahwa itu lah keputusan terbaik.
Aku tidak mungkin melupakan itu seumur hidupku. Hal yang membuatku malu seolah aku adalah terdakwa. Bagaimana bisa dulu aku begitu bangga dengan status yang tidak berarti itu? bagaimana bisa aku begitu bangga dengan kesesatan itu? bagaimana bisa aku mengacuhkan harga diriku untuk itu? teringat, dulu aku pernah menangis karena lepas darinya. Segalanya tetap meninggalkan bekas yang jelas. Aku malu. Sangat. Membicarakannya membuatku seolah berada dalam jelaga dengan sekelilingku gumpalan awan. Saat sahabat-sahabatku berkata bahwa orang yang menjalani tren itu adalah seperti kue yang dijajakan tanpa plastic, dan tak tertata dalam etalase. Semua orang dapat menjamahnya tanpa dibeli. Aku sangat malu. Sungguh dulu aku pernah menjalani tren itu meski demi Allah aku tidak pernah membiarkan seorang lelaki pun berbuat tak sopan padaku. Walaupun pengertian sopan itu pernah sedikit berbeda dalam pandanganku yang dulu dan saat ini. Dulu, kupikir berpakaian tertutup adalah sopan meski aku tidak mengenakkan kerudung. Dulu, kupikir tak apa jika tangan ini menyentuh siapapun sekalipun itu bukan mahramku. Dulu, kupikir maksiat itu adalah semua hal yang lebih dari sekedar berjabat tangan. Dulu, begitu banyak kesalahanku dalam berpikir. Kucoba untuk berubah walau tidak semua senang dengan perubahanku. Sahabat-sahabat lelakiku tampak tersinggung saat kukatupkan tanganku saat mereka mencoba untuk berjabat setelah kami lama tidak bertemu, mereka risih denganku, mereka menganggap itu adalah sebuah hinaan bahwa mereka menjijikkan bagiku. Tidak. Tidak ada niatku untuk bersikap seperti itu. keluargaku terlihat tidak senang dengan caraku berpakaian yang mereka bilang sangat merepotkan. Namun lambat laun mereka semua mengerti. Sahabatku tidak memaksaku untuk menjabat mereka lagi meski mereka masih risih terhadapku, padahal aku tetaplah sahabat mereka yang masih bicara cerewet seperti dulu. Keluargaku tidak mempersoalkan cara berpakaianku lagi.
"Didedikasikan untuk saudari-saudariku, bagi yang ingin dan tengah berubah..."
D setiap kidungku padaNya, acap kali mimpiku tumbuh, menjamur pda nyataku, menjadikan masa lalu sebagai inang tuk menyebarkan spora keberhasilan..
Dalam kemanjaanku padaNya, pintaku ada d setiap lirikan, helaan nafasku dalam buaianNya..
Langit yg dsediakanNya, kan menjadi mataku tuk melihat. BumiNya yg tanpa batas, kan jadi tetapan atas ikhtiarku..
Setiap detik yg mmbongkar ksunyian, detik pemohon, yg melontarkan senyum dalam satuan jam..
Aku mau setiap detak jantungku, hanya darah istiqomah yg mengalir.. Aku mau dengan stanza yg kubuat, ada jiwa yg selamat. Aku mau pda kata yg berujar, tersimpan hikmah yg tak trnilai, aku mau dunia lbih bhagia atas sosokku aku mau...
Tak inginku melanjutkan eksodusku tanpa mreka yg sejak awal brdiri d samping, membuatku yakin dan brsiap diri
setelah 4 thun pengembraan, mreka tak juga brubah, aku tetap menyayangi mereka dgn caraku.. Meski tak juga condong mereka pada kataku meski keterasingan mengintip malu-malu dalam setiap pertemuan..
Aku menyayangi mereka dengan caraku, meski orang-orang putih itu melarang, bagiku kepergianku adalah pengkhianatan.. Mereka bersamaku, dan akan tetap bgtu
aku menyayangi mereka dgn caraku, walau hujatan ada bagiku yang dikatakan tak juga brhenti brmaksiat.. Aku tetap tinggal dan tak brniat lepas..
Aku menyayangi mereka dgn caraku, karenanya, kan kubagi lilin kecilku memang tak seterang lentera tapi aku akan brusaha,
aku menyayangi mereka dgn caraku, maka izinkan aku ada.. Jangan hujat aku, wahai manusia yg dianugerahi cahaya! Ini caraku. Misiku.
Tuhanku yg brkuasa atas stiap kalbu, syukurku atas saudari yg pandai mengingatkan dan mudah diingatkan.. Ketetapan itu, pertahankan lah.. Wahai Dzat yg daripadaNya ruhku ditiupkan, beri aku cinta yg hidup bagi mereka.. Sungguh, hingga akhir, biarkn aku mencintai mereka dengan caraku...
Maka, condongkanlah hati mereka pada apa yg menjadi Haq lilin kecil ini 'kan menjadi obor yg brkobar dgn kuasaMu..
Aku menyayangi mereka dengan caraku...
' bagi saudara-saudaraku, saudari-saudariku, 4 tahun kbersmaan kita...'
Hembusan kesepian masih terasa, Pekat menderakkan keping hati.. semuany berputar kembali membawaku jauh pada keusangan yang menjadi begitu antik dan cantik..
tawa yang berganti dengan nada yang berbeda senyum yang terulas dari wajah yang berbeda kehampaan dengan resah yang bervariasi jiwaku tahu, ada bagian yang tersulit Menguji sebuah kesungguhan atau bahkan konsekuensi sebuah pilihan
Tirai kesepian, menguning di sudut harapan lubang bertebaran mengoyak keutuhan tapi kenangan tetaplah unik si pesakitan tak luput darinya tanpa senyuman
masa lalu, menjauh dengan hati-hati namun menoleh ketika terpanggil ditinggalkan tapi tak pernah hilang meski waktu tak berujung....
Lekukan d bibir yg kureka sejak awal, buat pagiku sempurna untuk pengembalian yg kurancang, tak ada selubung tipis, hanya aku yang sbenarnya...
Pencarianku terhenti, ketika surga seolah tersenyum padaku aku merasa ringan tanpa beban lalu jariku yg trbiasa bicara menyentuhnya, cukup untuk pengakuan dosa dan permohonan maaf-kurasa
sejenak, hanya hening membeningkan nuansa fitri d syawalku 1, 2 detik-halus kudengar desis, dan penolakan pelan meski tetap tepisan samar itu memagari jarak yg kukira dpat kulompati..
Sebuah tragedi-jiwa melankolisku mulai lagi tak dapat kuhindarkan. Semua bayang keabuan, semakin samar, buram... Mungkin aku akan mati, mati rasa